Total Tayangan Halaman

Rabu, 02 Februari 2011


MEMBANGUN GENERASI  KRITIS SEJAK USIA DINI
DI ERA OTONOMI DAERAH

Dalam setiap tahun ribuan sarjana dihasilkan baik itu dari Perguruan Tinggi Swasta (PTS) maupun Peguruan Tinggi Negeri (PTN), entah itu dari dalam  negeri dan luar negeri sekalipun. Tetapi melihat situasi bangsa Indonesia hingga saat ini yang sedang mengalami krisis multideminsi, pendidikan ternyata belum mampu menjawabnya. Karena pendidikan di Indonesia dan sebagian besar negara-negara berkembang tidak pernah menciptkan generasi-generasi yang peka (kritIs) dengan situasi di sekitar mereka. Menurut Paulo Fiere, pendidikan harus mampu membebaskan manusia dari kungkungan system yang tidak memanusiakan manusia ini (dehumanisasi).
Sejak masa kemerdekaan sampai berakhirnya masa Orde Baru pendidikan di Indonesia diarahkan bukan kepada peningkatan kualitas tetapi dijadikan sebagai alat kekuasaan dalam mencapai tujuan politik. Otoriterisme di dalam segala bentuknya mulai memasuki kehidupan bermasya-rakat termasuk di dalam bidang pendidikan. Segala sesuatu diarahkan kepada kemauan penguasa sehingga kebebasan berpikir, berpikir alternatif, berpikir kritis semakin lama semakin dikubur. Hasilnya ialah manusia-manusia yang tidak mempunyai alternatif selain alternatif yang telah disodorkan oleh penguasa, ini menyebabkan generasi-generasi yang dihasilkan dari lembaga-lembaga pendidikan pada masa tersebut tidak ubahnya robot hidup.
Pada era otonomi daerah dan pendidikan yang sekarang sedang gencar dilaksanakan oleh pemerintah pusat kini pemerintah daerah telah mempunyai kewenangan untuk mengatur dan mengurusi segala sesuatu tentang pendidikan di daerahnya masing-masing di seluruh Indonesia. Hal itu telah tertera dalam Undang-Undang (UU) Nomor 22 Tahun 1999 dan UU No.23 tahun 2004. Kewenangan penuh tersebut dirumuskan dalam pasal 7 ayat 1; ''Kewenangan daerah mencakup kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan, kecuali dalam kewenangan politik luar negeri, pertahanan keamanan, keadilan, moneter dan fiskal, agama serta kewenangan bidang lain.'' Kewenangan yang diberikan kepada pemerintah daerah ini telah diturunkan ke tingkat paling bawah yaitu lewat otonomi sekolah termasuk pendidikan anak di usia dini (pendidikan tanam kanak-kanak), dengan begitu sekolah mempunyai kewenangan untuk mengatur, mengelola lembaga pendidikannya sesuai dengan visi dan misi sekolahnya tanpa intervensi dari siapa pun.
Namun dalam implementasinya, realisasi dari otonomi tersebut sering dipertanyakan oleh banyak kalangan, termasuk juga orang tua murid. Karena sampai sekarang ini, otonomi sekolah banyak dimaknai oleh pengelola pendidikan hanya sebatas pada soal keuangan saja, belum menyentuh hal-hal yang substansi dari sebuah lembaga pendidikan. Seperti menyangkut profesionalisme dari guru-guru sendiri ketika dalam KBM (Kegiatan Belajar Mengajar), banyak guru yang mengajar sebuah mata pelajaran yang secara kwalitas dia kurang menguasai, karena si guru berasal dari disiplin ilmu yang berbeda ketika dia menempuh pendidikan. Berdasarkan hasil tes untuk guru yang dilakukan oleh Dinas pendidikan di Bandung hampir 80 % guru yang ikut tes tersebut masih di bawah nilai standarisasi dari profesinalitas guru.
Berangkat dari fenomena di atas, banyak yang bisa kita ambil dan menjadi referensi termasuk sekolah-sekolah alternatif yang saat ini banyak bermunculan di berbagai daerah, baik itu yang diprakarsai oleh individu maupun oleh masyarakat sendiri. Dengan tujuan bagaimana membangun sebuah sekolah yang mampu menciptakan generasi-generasi yang kitis, inovatif dan professional di bidang yang akan nanti digelutinya di kemudian hari.
Kalau di lihat ada beberapa faktor yang sangat menentukan mutu dan output dari lembaga pendidikan khususnya lembaga pendidikan untuk anak usia dini (TK). Yang pertama, sistem belajar yang menyenangkan anak didik, dimana pada prinsipnya TK adalah tempat bermain sambil belajar. Berpegang pada prinsip ini, sistem yang diterapkan dalam kegiatan bermain dan belajar sudah seharusnya disajikan secara menyenangkan, inovatif, dan terukur. karena ketika anak mengalami kebosanan dengan tempat ia bersekolah maka anak didik tidak akan mempedulikan pelajaran-pelajaran yang disampaikan.
Kedua, memposisikan anak didik sebagai subjek dan objek dari proses belajar tersebut. Karena selama ini secara tidak langsung kita selalu menempatkan anak didik hanya sebagai objek dari kegiatan tersebut, mereka tidak pernah diberikan/diposisikan sebagai subjek. Sehingga kita tidak pernah tahu seperti apa keinginan dari anak didik, ini sangat mempengaruhi output yang ada. Ketiga, menanamkan sejak dini kepekaan anak terhadap kondisi sosialnya dan juga lingkungan hidup mereka, semisal mengenalkan anak-anak dengan kondisi masyarakat di sekitar mereka baik melalui cerita-cerita maupun secara lansung berupa kegiatan-kegiatan sosial yang bisa menumbuhkan kepedulian anak dengan kondisi orang lain yang kurang beruntung dan lingkungan di sekitar sekolah. Proses ini secara tidak langsung akan membuat anak mengetahui berbagai masyarakat di sekitar mereka, dan dengan sendirinya kepedulian terhadap mereka terbangun sejak usia dini. Kempat, tenaga pengajar yang professional, desentralisasi dan demokratisasi proses pendidikan memerlukan tenaga-tenaga yang terampil dan profesional. Pada masa Orde Baru kita lihat matinya berpikir kritis dan inisiatif. Yang ditumbuhkan ialah berpikir uniform untuk mencapai suatu standar nasional yang abstrak. Demikian pula para pengasuh pendidikan nasional tidak mengembangkan kemampuan kualitas di dalam manajemennya serta proses pendidikan tidak diarahkan kepada mengembangkan berpikir kritis dan inovatif. Dengan demikian pendidikan semacam itu tidak mempunyai relevansi dan akuntabilitas.
Di samping itu, dalam era otonomi sekarang ini peran masyarakat yang sebelumnya termarjinalkan, kini sudah saatnya dikikis habis dan diberikan kepercayaan dalam mengatur untuk bisa berperan dalam pemberdayaan dan pengelolaan pendidikan. Masyarakat (Orang tua/Wali murid) tidak hanya sekedar sebagai penyumbang atau dana penambah bagi sekolah. Maka ketika otonomisasi digalakkan adalah sudah saatnya masyarakat (orang tua) diikutsertakan dalam pengambilan keputusan di sekolah dalam berbagai hal. Tapi, tidak hanya sekedar sebagai formalitas belaka, yang artinya, orang tua ketika diikutsertakan dalam musyawarah dengan pihak sekolah tidak hanya sebagai objek atau hanya sebagai pendengar saja (only learner). Melainkan harus benar-benar diberikan secara langsung.
Dengan terlibatnya masyarakat secara langsung dalam lembaga pendidikan, banyak keuntungan yang diperoleh, karena masyarakat yang banyak mengetahui apa yang menjadi kebutuhan di tengah-tengah mereka. Sesuai dengan keinginan untuk desentralisasi baik di dalam pemerintahan maupun di dalam kepengurus-an kebutuhan-kebutuhan masyarakat yang rill, maka desen-tralisasi pendidikan telah merupakan suatu tuntutan. Dengan demikian, struktur manajemen pendidikan harus disesuai-kan dengan keikutsertaan secare aktif masyarakat di dalam pelaksanaannya. Pendidikan yang berakar dari masyarakat berarti pula adanya partisipasi dan kontrol dari masyarakat yang mempunyai pendidikan tersebut. Lembaga-lembaga sosial (social institutions) yang lama perlu diperkuat dan yang baru perlu didirikan untuk melaksanakan tugas tersebut.
 Selanjutnya, partisipasi masyarakat menuntut otonomi dari lembaga-lembaga pendidikan. Otonomi lembaga-lembaga pen-didikan berarti lembaga-lembaga pendidikan tersebut terlepas dari kungkungan birokrasi dan menjadi suatu lembaga profe-sional dengan tanggung jawab yang jelas. Otonomi lembaga pendidikan tidak mengurangi partisipasi masyarakat di dalam penyelenggaraan pendidikan tersebut. Kedua komponen ter-sebut perlu dijalin dalam suatu kerja sama yang saling meng-untungkan. Masyarakat membantu penyelenggaraan serta mengontrol pelaksanaannya, sedangkan kegiatan di dalam lembaga pendidikan tersebut dilaksanakan oleh tenaga-tenaga yang berwenang dan profesional.

ghofur

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Entri Populer