Total Tayangan Halaman

Sabtu, 05 Februari 2011

MASYARAKAT ADAT DAN PERTAMBANGAN:
Community Development, jalan sesat menuju penyerahan kedaulatan1

Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN)2

Masyarakat Adat Korban Pembangunan Pertambangan
Masyarakat adat adalah salah satu kelompok utama penduduk negeri ini, baik dari jumlah populasi, yang saat diperkirakan antara 50 – 70 juta orang, maupun nilai kerugian materil dan spritual atas penerapan politik pembangunan yang selama lebih dari tiga dasawarsa terakhir. Penindasan terhadap masyarakat adat ini terjadi baik di bidang ekonomi, politik, hukum, maupun di bidang sosial dan budaya lainnya. Kondisi ini menjadi demikian ironis karena pada kenyataannya masyarakat adat merupakan elemen utama dalam struktur negara–bangsa (nation-state) Indonesia. Namun dalam hampir semua keputusan politik nasional, eksistensi komunitas-komunitas adat ini belum terakomodasikan, atau bahkan secara sistematis disingkirkan. Dengan berbagai kebijakan dan produk hukum yang dikeluarkan oleh pemerintah, negara secara tidak adil dan tidak demokratis telah mengambil-alih hak asal usul, hak atas wilayah adat, hak untuk menegakkan sistem nilai, ideologi dan adat istiadat, hak ekonomi, dan hak politik masyarakat adat. Kedaulatan negara ditegakkan secara represif dengan mengabaikan kedaulatan masyarakat adat untuk mengatur dan mengembangkan kemandirian kultural dan politik di dalam tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Di bidang ekonomi ditemukan berbagai kebijakan dan hukum yang secara sepihak pemerintah menetapkan alokasi dan pengelolaan sumberdaya alam yang sebagian besar berada di dalam wilayah-wilayah adat. Berbagai peraturan perundangan sektoral dikeluarkan oleh Rejim Otoriter-Militeristik Soeharto, termasuk di dalamnya UU Pertambangan, sebagai instrumen utama untuk mengambil-alih sumber-sumber ekonomi yang dikuasai masyarakat adat. Dengan menggunakan UU Pertambangan ini juga, kemudian pengusahaan atas wilayah-wilayah yang berpotensi untuk eksploitasi pertambangan diserahkan secara kolusif dan nepotistik kepada perusahaan-perusahaan swasta nasional yang dimiliki oleh segelintir elit politik dan kroni-kroninya dan swasta asing yang berhasil membangun akses dengan para elit politik, khususnya Presiden .
Politik sumberdaya alam yang sentralistik, bertumpu pada pemerintah, represif dan sangat tidak adil ini, telah menimbulkan konflik atas sumberdaya alam berdimensi kekerasan antara masyarakat adat dengan penyelenggara negara dan pemilik modal yang melibatkan aparat pertahanan dan keamanan. Dari konflik vertikal seperti ini tercatat banyak pelanggaran hak azasi manusia dialami oleh penggiat dan pejuang penegakan hak-hak masyarakat adat. Setiap aksi protes dari yang paling damai sekali pun seperti mengirim surat protes ke pemerintah sampai aksi duduk damai dan pengambil-alihan "base camp" sampai penyanderaan alat-alat berat perusahaan yang mengeksploitasi sumberdaya alam dan merusak ekosistem yang menghidupi mereka selalu berujung pada tuduhan anti-pembangunan dan kriminalisasi.
Sikap Dasar dan Garis-Garis Perjuangan Masyarakat Adat
Pengalaman penderitaan masyarakat adat telah menimbulkan kesadaran baru bahwa kebijakan pembangunan dan hukum yang diproduksi oleh negara selama lebih dari 30 tahun terakhir sama sekali tidak untuk melindungi masyarakat adat, tetapi hanya untuk mengabdi kepada kepentingan kekuasaan elit politik dan para pemilik modal. Di sini sangat jelas ada 2 sumber ketidak-adilan hukum dan kebijakan pembangunan terhadap masyarakat adat. Pertama, kebijakan-kebijakan pembangunan dan produk hukum yang mengawalnya sudah bias dengan semangat penyeragaman, bias formalitas, dan bias hukum positif, yang secara kultural tidak berakar pada prinsip-prinsip hukum sebagaimana yang dikenal dalam beragam sistem sosial-budaya masyarakat adat yang tersebar di seluruh pelosok nusantara. Ke dua, berbagai produk hukum yang mengatur atau berhubungan dengan hak-hak masyarakat adat dibuat saling kontradiktif satu sama lain, atau dibuat mengambang (tidak jelas), sehingga tidak memungkinkan adanya kepastian hukum yang bisa memberikan pengakuan dan perlindungan atas hak-hak masyarakat adat. Dengan kondisi ketidak-pastian hukum ini, elit kekuasaan bisa melakukan intervensi kekuasaan terhadap proses-proses hukum apabila proses-proses ini dianggap mengganggu kepentingan dirinya dan kroni-kroninya.
Dengan berbagai permasalahan ini, maka sejak pertengahan tahun 1980-an perlawanan masyarakat adat terhadap berbagai kebijakan pemerintah mulai bermunculan secara sporadis. Komunitas-komunitas masyarakat adat Dayak Benuaq dan Tonyoi di Kalimantan Timur dengan gigih melawan operasi pertambangan emas PT. Kelian Equatotial Mining (KEM). Masyarakat Adat Amungme di Papua Barat berjuang puluhan tahun menegakkan hak-hak adatnya di atas wilayah operasi pertambangan PT. Freeport Indonesia. Komunitas-komunitas adat Dayak Siang, Murung dan Bekumpai di Kalimantan Tengah dengan segala "pasang-surut" terus berjuang mempertahankan tanah adatnya dari penyeroboton perusahaan pertambangan emas PT. Indomuro Kencana/Aurora Gold. Komunitas-komunitas adat di 4 desa (terkenal dengan nama Kelompok SABIRAL) di Kecamatan Batu Sopang, Kabupaten Paser, Kalimantan Timur, dengan segala daya yang tersisa terus menuntut hak-hak adatnya kepada perusahaan pertambangan batubara PT. Kideco Jaya Agung. Perlawanan-perlawanan ini terus berkembang dan menyebar di hampir seluruh pelosok nusantara dan sebagian di antara aksi perjuangan itu telah menempatkan ratusan orang masyarakat adat masuk penjara dan bahkan sampai memakan korban jiwa.
Kekecewaan, kemarahan dan keputus-asaan berbagai kelompok masyarakat adat ini akhirnya menemukan "ruang hidup" yang menggariskan sikap dasar masyarakat adat yang dirumuskan dan diputuskan oleh seluruh peserta Kongres Pertama Masyarakat Adat Nusantara (KMAN) tahun 1999 yang menyatakan: "KAMI TIDAK AKAN MENGAKUI NEGARA, KALAU NEGARA TIDAK MENGAKUI KAMI". Sikap dasar inilah yang melandasi cita-cita bersama komunitas-komunitas masyarakat adat yang bergabung dalam Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) "……. atas dasar rasa kebersamaan senasib sepenanggungan di antara sesama masyarakat adat se-nusantara sehingga wajib untuk saling bahu-membahu demi terwujudnya kehidupan masyarakat adat yang layak dan berdaulat. Dengan demkian kelayakan (untuk keberlangsungan kehidupan) dan kedaulatan masyarakat adat merupakan kata kunci bagi anggota AMAN. Dalam hal ini, yang dimaksudkan oleh AMAN sebagai masyarakat adat adalah "komunitas-komunitas yang hidup berdasarkan asal-usul leluhur secara turun-temurun di atas suatu wilayah adat, yang memiliki kedaulatan atas tanah dan kekayaan alam, kehidupan sosial budaya yang diatur oleh hukum adat, dan lembaga adat yang mengelola keberlangsungan kehidupan masyarakatnya". KMAN 1999 ini juga telah menggariskan prinsip-prinsip pelaksanaan misi AMAN, yaitu: tidak boleh melanggar dasar-dasar kehidupan masyarakat adat, kebersamaan, nilai-nilai keadilan yang mengutamakan nilai-nilai demokrasi dan hak asasi manusia.
Untuk mencapai kelayakan (keberlangsungan kehidupan) dan kedaulatan masyarakat adat maka sebagai landasan untuk tindakan bersama bagi masyarakat adat di seluruh pelosok nusantara, Kongres I Masyarakat Adat Nusantara telah merumuskan dan menetapkan 8 (delapan) garis-garis perjuangan AMAN, 4 (empat) diantaranya yang terkait dengan sumberdaya alam adalah sebagai berikut:
  1. Pengembalian kedaulatan masyarakat adat sebagai persekutuan politik untuk mengatur kehidupan sosial-ekonomi, hukum dan budayanya, termasuk kedaulatan atas penguasaan dan pengelolaan tanah, kekayaan alam dan sumber-sumber penghidupan lainnya. Untuk menjamin hal ini maka AMAN akan memperjuangkan adanya undang-undang yang mengatur tentang kedudukan hak politik, hukum dan sosial-budaya dari masyarakat adat.
  2. Berbagai undang-undang yang mengingkari kedaulatan masyarakat adat harus dicabut atau diubah. Konsep Hak Menguasai Negara, termasuk yang melandasi UU No. 11/1967 tentang Pokok-pokok Pertambangan, harus ditinjau ulang berdasarkan pengakuan sepenuhnya atas kedaulatan masyarakat adat. Pengakuan sepenuhnya atas kedaulatan masyarakat adat atas sumberdaya alam harus dijamin dan dilindungi dalam undang-undang yang baru. Dalam proses pembuatan Undang-undang tersebut, masyarakat adat harus mendapat jaminan sepenuhnya sebagai salah satu hak warga negara untuk berpartisipasi.
  3. Perundingan ulang atas penggunaan tanah dan kekayaan alam yang berdasarkan hak asal-usul/hak tradisional yang dijamin oleh UUD 1945 dan amandemennya3 merupakan "kepunyaan" masyarakat adat (lebih tepatnya dikuasai secara turun-temurun oleh masyarakat adat sebagai hak asal usul/hak tradisional) yang selama ini "dipakai" untuk berbagai proyek-proyek pemerintah dan pengusaha, termasuk diantaranya proyek pertambangan. Berbagai rencana proyek baru di dalam/di atas tanah dengan menggunakan kekayaan alam masyarakat adat harus didasari atas perundingan bersama masyarakat adat yang menguasainya dan dengan mempertimbangkan dampaknya terhadap masyarakat adat.
  4. Para pemegang kekuasaan Negara, baik pihak legislatif, eksekutif dan yudikatif, wajib membuat suatu penyelesaian yang arif dan bijaksana dalam rangka menghormati hak menentukan nasib sendiri bagi komunitas-komunitas masyarakat adat di dalam negara Republik Indonesia. Negara wajib melakukan rehabilitasi atas kedaulatan dan hak-hak masyarakat adat yang selama ini telah dilanggar.4
Community Development: Memperparah Penindasan Masyarakat Adat Kalau sikap dan garis-garis perjuangan masyarakat adat yang bergabung di dalam AMAN tersebut dicermati dan kemudian direfleksikan dengan konsep dan pelaksanaan program "community development" (CD) dari perusahaan-perusahaan pertambangan yang ada di Indonesia maka sangat jelas JAUH PANGGANG DARI API. Bagi masyarakat adat, program CD ini tidak lebih dari metode ganti rugi atas sebagian kecil dampak negatif kerusakan lingkungan yang ditimbulkan oleh pengerukan sumberdaya mineral oleh perusahaan pertambangan. Masyarakat adat akan terus berjuang untuk mewujudkan kedaulatan atas wilayah adat dan sumberdaya alam yang ada di dalamnya, termasuk sumberdaya mineral yang ada di bawah permukaan tanah. Masyarakat adat tidak akan pernah menukar kedaulatannya dengan ganti rugi dalam bentuk apa pun, termasuk dalam bentuk dan bungkus "CD".
Pengalaman masyarakat adat yang beraliansi di AMAN selama ini telah menunjukkan bahwa program "CD" dengan berbagai variasinya belum ada yang berhasil menciptakan keadilan dan kesejahteraan bagi mereka. Dana yang dikeluarkan untuk program CD oleh perusahaan pertambangan sama sekali tidak sebanding dengan nilai bahan tambang yang dikeruk dari wilayah adatnya, belum lagi dihitung kerugian masyarakat adat karena dampak negatif kerusakan lingkungan. Hampir semua program CD bertujuan untuk mengembangkan ekonomi kerakyatan yang berkelanjutan, tetapi berdasarkan realitas yang ada di masyarakat adat, maka CD ini hanya sekedar alat untuk memberi harapan kosong kepada masyarakat adat. Sementara yang akan berkelanjutan di masyarakat adat hanyalah dampak kerusakan lingkungan yang ditinggalkan oleh perusahaan pertambangan.
Pengalaman lainnya yang juga menyedihkan bagi masyarakat adat adalah bahwa program CD ini justru digunakan oleh perusahaan pertambangan untuk memecah-belah masyarakat, khususnya antara masyarakat adat dengan penduduk pendatang yang berdomisili sementara. Dalam hal ini sasaran program CD tidak membedakan antara masyarakat adat yang memiliki wilayah adat secara turun-temurun dengan penduduk pendatang yang tidak memiliki hak adat/hak asal-usul. Dengan pendekatan yang seperti ini masyarakat adat merasa diperlakukan tidak adil. Sementara penduduk pendatang ini justru sangat mendukung CD karena tidak merasa memiliki atas wilayah operasi tambang, bahkan sebagian di antara mereka hanya berdomisili sementara. Politik pecah-belah ini secara langsung mempengaruhi perjuangan masyarakat adat untuk menegakkan hak-haknya atas tanah adat karena masyarakat adat justru dihadapkan dengan penduduk pendatang yang mendapat keuntungan dari program CD perusahaan tambang. Dalam kondisi masyarakat adat sudah dihadapkan dengan penduduk pendatang maka biasanya masyarakat adat akan sangat hati-hati karena bisa berakibat fatal kepada kedua belah pihak. Tetapi kalau cara-cara seperti ini diteruskan maka kesabaran masyarakat adat juga akan sulit dikendalikan dan bisa menimbulkan konflik horisontal yang akan sulit diselesaikan dan akan membawa kerugian bagi semua pihak dalam jangka panjang. Hal aneh lainnya yang juga dipantau oleh masyarakat adat dalam pelaksanaan program CD adalah adanya pengeluaran yang cukup besar dari dana CD ini sebagai sumbangan kepada berbagai organisasi kemasyarakatan pemuda (OKP) yang tidak ada hubungannya dengan masyarakat di sekitar wilayah pertambangan dan juga tidak menjadi penerima dampak negatif kerusakan lingkungan. Dalam beberapa kejadian, OKP-OKP yang mendapat sumbangan dari perusahaan ini sering muncul mengintimidasi masyarakat adat yang menuntut hak-haknya kepada perusahaan.
Kewajiban program CD bagi perusahaan pertambangan ini juga telah membuka peluang bagi munculnya banyak LSM calo yang senang mengatas-namakan masyarakat adat untuk bisa mendapatkan dana dari perusahaan. LSM-LSM seperti ini banyak diantaranya yang tidak dikenal dan tidak dipercaya oleh masyarakat adat. Dalam beberapa kasus, walaupun LSM-LSM seperti ini ditolak oleh masyarakat adat, tetapi perusahaan-perusahaan pertambangan sangat senang memeliharanya karena sangat berguna untuk tujuan "menghijaukan" perusahaan. Ironisnya, sementara kemiskinan dan ketertindasan masyarakat adat yang menjadi korban pertambangan terus berlangsung, kemewahan dan keangkuhan justru dipertontokan oleh pekerja LSM-LSM seperti ini yang membuat masyarakat adat semakin terpojok.
Dengan pengalaman-pengalaman seperti ini maka kehadiran program CD di tengah-tengah masyarakat adat justru malah memperparah penindasan bagi masyarakat adat. Hal ini juga membuktikan bahwa pada umumnya perusahaan-perusahaan pertambangan belum menunjukkan penghormatan terhadap masyarakat adat sebagaimana diamanatkan oleh UUD 1945 dan TAP MPR IX Tahun 2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya Alam.
Otonomi Daerah: Secercah harapan yang samar-samar
Reorganisasi Negara Kesatuan Republik Indonesia melalui otonomi daerah telah menjadi tema sentral diskusi hampir di seluruh lapisan masyarakat. Dalam otonomi daerah ini, yang secara formal ditandai dengan keluarnya UU No. 22 Tahun 1999 dan UU No. 25 Tahun 1999, ada kehendak dari para pembuatnya untuk memperbaharui hubungan antara pemerintah pusat dengan daerah melalui penyerahan kewenangan pusat ke daerah atau desentralisasi, antara eksekutif (PEMDA) dengan legislatif (DPRD) melalui "kemitraan sejajar" di antara keduanya, dan terakhir mendekatkan secara politik dan geografis antara penentu kebijakan (yang kewenangannya diserahkan ke DPRD dan PEMDA Kabupaten) dengan rakyat sehingga diharapkan kebijakan yang dihasilkan akan lebih sesuai dengan hajat hidup rakyat banyak.
Dalam konteks memberi jalan bagi kedaulatan masyarakat adat, hal-hal yang dikehendaki tersebut perlu dikaji dan dipertanyakan secara kritis mengingat bahwa UU 22/1999 dan UU 25/1999 ini hanya mengatur sistem pemerintahan (government system), bukan system pengurusan (governance system). Ini berarti bahwa kedua UU ini baru mengatur hubungan antara pemerintah pusat dan daerah, belum menyentuh pada persoalan mendasar tentang hubungan rakyat dengan pemerintah yang selama Orde Baru justru merupakan akar dari segala persoalan yang dihadapi masyarakat adat, yaitu tidak adanya kejelasan dan ketegasan batas sampai dimana pemerintah boleh (punya wewenang) mengatur dan mengintervensi kedaulatan masyarakat adat. Yang muncul sebagai akibat dari ketidak-tegasan dan ketidak-jelasan ini adalah tumbuh-suburnya perilaku politik pengurasan sumberdaya alam di kalangan elit politik di sebagian daerah, khususnya para bupati yang mendapatkan penambahan wewenang yang cukup besar.
Para Bupati mengeluarkan berbagai peraturan baru untuk menarik pendapatan asli daerah (PAD) sebanyak-banyaknya dari berbagai macam sumber, termasuk mengundang perusahaan-perusahaan pertambangan. Salah satu contohnya adalah wewenang Bupati Pasir, Kalimantan Timur, untuk mengeluarkan ijin berupa Surat Keputusan (SK) Bupati kepada perusahaan pertambangan batubara. Proses penerbitan SK ini lebih partisipatif karena diawali dengan adanya negosiasi antara masyarakat adat dengan perusahaan pertambangan yang berminat. Kesepakatan ini menyangkut hal-hal teknis menyangkut alokasi lahan yang boleh dan tidak boleh ditambang serta juga kesepakatan pembagian hasil yang diperoleh oleh masyarakat adat dari setiap metrik ton batubara yang diproduksi perusahaan. Setelah kesepakatan antara masyarakat adat dan perusahaan tercapai maka hasil kesepakatan ini kemudian ditindak-lanjuti untuk mendapatkan rekomendasi dari Kepala Desa dan Camat, baru SK Bupati diterbitkan.
Hal menarik dan penting dicatat dari perjalanan otonomi daerah selama ini adalah bahwa bertambahnya kekuasaan/wewenang di tangan para Bupati dan DPRD bukan berarti dengan sendirinya mengurangi kekuasaan/wewenang pemerintah pusat di daerah atas sumberdaya mineral. Pada kenyataannya perusahaan-perusahaan pertambangan yang mendapat ijin dari pemerintah pusat masih terus beroperasi dengan berlandaskan Surat Keputusan (SK) Menteri yang hanya mewajibkan adanya program CD bagi masyarakat di sekitar wilayah pertambangan.
Dengan adanya prakarsa Pemerintah Kabupaten Pasir yang lebih terbuka dan lebih akomodatif terhadap kepentingan masyarakat adat dalam pemberian ijin pertambangan (SK Bupati), penolakan terhadap keberadaan perusahaan-perusahaan pertambangan batubara yang mendapat ijin dari pemerintah pusat (SK Menteri) semakin kuat. Penolakan ini juga membuktikan kegagalan pendekatan CD untuk mengakomodasikan hak-hak dan kepentingan masyarakat adat.
Rekomendasi: Mewujudkan keadilan dan kesejahteraan bagi masyarakat adat di wilayah-wilayah operasi pertambangan
Melanjutkan reformasi hukum dan politik yang sedang berjalan …..
  • Setelah melakukan amandemen terhadap UUD 1945 dan dengan dikeluarkannya TAP MPR No. IX/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya Alam yang keduanya secara tegas mengakui, menghargai dan melindungi hak-hak masyarakat hukum adat atas sumberdaya alam di wilayah adatnya, maka UU No. 11/1967 tentang Pokok-Pokok Pertambangan dan semua peraturan pelaksanaanannya harus segera dirubah. Revisi ini, yang dimaksudkan untuk menjamin kepastian hak penguasaan/pemilikan masyarakat adat atas wilayah adat dan sumberdaya mineral yang ada di dalamnya sesuai dengan amanat UUD 1945 dan TAP MPR IX/2001 merupakan salah satu prasyarat pokok untuk mewujudkan keadilan dan kesejahteraan bagi masyarakat adat.
  • Keputusan Sidang Tahunan MPR 2001 tentang pemilihan presiden secara langsung merupakan awal restrukturisasi politik menuju demokrasi partisipatif yang masih harus dilanjutkan dengan revisi UU PEMILU dan UU SUSDUK agar: (1) pemilihan gubernur dan bupati secara langsung dan memungkinkan adanya calon independen tanpa melalui partai politik, dan (2) pemilihan wakil rakyat (DPR dan DPRD) secara langsung dengan sistem distrik – memungkinkan dikombinasikan dengan sistem proporsional untuk mengakomodasikan aspirasi kelompok-kelompok minoritas – dan memungkinkan adanya calon independen tanpa partai politik. Struktur politik seperti ini akan lebih menjamin partisipasi masyarakat adat dalam pembuatan kebijakan dan peraturan perundang-undangan, khususnya yang terkait dengan alokasi dan pengelolaan sumberdaya mineral/pertambangan.
  • Memperkuat kebijakan desentralisasi yang sedang berjalan saat ini dengan mengalihkan/ mengembalikan kekuasaan dan wewenang otonomi penuh pada tingkat pemerintahan komunitas adat ("indigenous autonomy").
Memperkuat kemitraan setara antara masyarakat adat dengan perusahaan pertambangan ……
  • Proses mendapatkan pengakuan dan perlindungan hukum secara nasional terhadap hak-hak masyarakat adat atas sumberdaya mineral membutuhkan waktu yang panjang. Oleh karena itu Pemerintah Daerah Kabupaten perlu mengembangkan instrumen-instrumen baru untuk melindungi hak-hak dan kepentingan masyarakat adat di daerahnya, salah satunya dengan mewajibkan perusahaan-perusahaan pertambangan yang sudah beroperasi selama ini (berdasarkan ijin dari pemerintah pusat) untuk berunding dengan masyarakat adat secara langsung mencari formulasi baru kemitraan, antara lain yang penting: menata ulang alokasi lahan-lahan di dalam wilayah adat yang boleh dan yang tidak boleh ditambang (baik karena pertimbangan kultural/religius maupun ekologis), rehabilitasi kerusakan lingkungan dan pampasan atas penindasan yang dialami masyarakat adat selama ini, pembagian keuntungan adil atas produksi pertambangan (bisa berupa alokasi saham sesuai dengan potensi bahan tambang, bagi hasil, royalty[?]). Bagi perusahaan-perusahaan baru PEMERINTAH diwajibkan melaksanakan prinsip "prior informed consent", artinya perusahaan harus memberi informasi selengkap-lengkapnya baik tentang perusahaannya maupun rencana usaha pertambangan kepada masyarakat adat untuk mendapatkan persetujuan dan merundingkan kesepakatan-kesepakatan kerjasama, antara lain yang terpenting: menentukan alokasi lahan-lahan di dalam wilayah adat yang boleh dan yang tidak boleh ditambang (baik karena pertimbangan kultural/religius maupun ekologis), pembagian keuntungan yang adil atas produksi pertambangan (bisa berupa alokasi saham sesuai dengan potensi bahan tambang, bagi hasil berdasarkan volume produksi maupun nilai jual, royalti[?]).
  • Dengan kemitraan setara seperti di atas maka masyarakat adat tidak membutuhkan program CD, yang pada kenyataannya adalah jalan sesat nikmat sesaat menuju penyerahan kedaulatan masyarakat adat kepada perusahaan-perusahaan pertambangan. Yang diperlukan masyarakat adat adalah memperkuat diri dengan pengorganisasian yang kuat sebagai prasyarat yang harus dipenuhi masyarakat adat. Tanpa pengorganisasian yang kuat maka masyarakat adat akan selalu menjadi objek perusahaan pertambangan. Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) hanyalah salah satu wadah bersama masyarakat adat untuk mengorganisir dirinya sehingga bisa membangun kemitraan setara dengan pihak-pihak lain.

Footnotes

  1. Makalah untuk disajikan dalam Seminar Nasional "Memahami Persepsi Community Development di Sektor Pertambangan dan Migas Ditinjau dari Perspektif Otonomi Daerah", Jogyakarta, 14 Mei 2002.
  2. AMAN adalah organisasi kemasyarakatan (ORMAS) independen yang anggotanya terdiri dari komunitas-komunitas masyarakat adat dari berbagai pelosok nusantara. Aliansi ini dimaksudkan sebagai wadah perjuangan masyarakat adat untuk menegakkan hak-hak adatnya, eksistensinya dan kedaulatan dalam mengatur dirinya sendiri. Sampai saat ini ada 28 organisasi masyarakat adat independen yang beraliansi di AMAN.
  3. Perjuangan masyarakat adat menegakkan hak-haknya memiliki landasan konstitusional dan dasar hukum yang sangat kuat, khususnya setelah adanya Amandemen kedua Undang Undang Dasar (UUD) 1945. Pasal 18B ayat (2) (amandemen) UUD 1945 pada bab VI yang mengatur tentang pemerintahan daerah telah menegaskan bahwa: "Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak- hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip-prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam Undang-Undang". Bab X A yang mengatur tentang Hak Azasi Manusia pada pasal 28-I Ayat (3) semakin memperkuat kedudukan masyarakat adat dengan mengatakan bahwa: "identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban" merupakan hak azasi manusia yang harus dilindungi oleh Negara. Dengan penegasan pasal ini menjadi sangat jelas bahwa apabila satu komunitas masyarakat adat menyatakan dirinya masih hidup (self-identification and self-claiming) maka Negara Kesatuan Republik Indonesia wajib melindunginya. Di samping dilindungi konstitusi negara, hak-hak masyarakat adat dan upaya-upaya penegakannya juga diatur dalam beberapa instrumen internasional. Yang pertama adalah Konvensi ILO (International Labor Organisation) Nomor 169 tahun 1989 mengenai Masyarakat Adat dan Penduduk Pribumi Asli di Negera-Negara Merdeka. Konvensi ini sangat penting bagi kelompok-kelompok masyarakat adat di Indonesia untuk mendukung tindakan perlawanan terhadap ketidak-adilan dalam Negara Republik Indonesia yang merdeka. Konvensi ini dengan tegas memberi perlindungan terhadap hak-hak sosial, budaya, politik dan ekonomi masyarakat adat. Hanya saja konvensi ini belum diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia sehingga belum menjadi hukum yang sah dan harus ditegakkan (mengikat secara resmi). Instrumen kedua adalah Konvensi PBB tentang Keanekaragaman Hayati (Convention on Biological Diversity) (1992) yang sudah diratifikasi (disahkan) oleh Pemerintah Indonesia menjadi UU No. 5 Tahun 1994, khususnya pasal 8 (j) yang menekankan pada perlindungan terhadap kearifan adat dalam pelestarian sumber daya dan keaneka-ragaman hayati dan hak kepemilikan intelektual masyarakat adat. Masih banyak lagi instrumen internasional (walaupun tidak secara khusus untuk masyarakat adat) yang bisa memberi "ruang hidup" bagi masyarakat adat, misalnya Perjanjian Internasional Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (1966), Konvensi PBB tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial (1966), dan sebagainya. Yang paling penting dari semua itu bahwa saat ini PBB sedang merumuskan (masih draft) Deklarasi PBB tentang Hak-Hak Masyarakat Adat (Declaration on The Rights of Indigenous Peoples). AMAN sebagai organisasi masyarakat adat di Indonesia terus berjuang agar deklarasi ini segera disepakati dan diputuskan oleh Sidang Umum PBB sebagai salah satu instrumen hukum dalam pergaulan antar negara di tingkat internasional.
  4. Sebagai bagian dari warga negara Republik Indonesia maka setiap anggota masyarakat adat yang memperjuangkan hak-haknya harus dilindungi oleh hukum. Pasal 28-C ayat (2) (amandemen) UUD 1945 pada bab X A yang mengatur tentang Hak Azasi Manusia ditegaskan bahwa: "Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan hak-haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa dan negaranya". Orang-orang dan/atau komunitas-komunitas masyarakat adat yang secara bersama-sama memperjuangkan hak-haknya, juga harus dilindungi hak-haknya oleh Negara sebagai hak azasi manusia. Penegasan ini bisa dilihat dalam pasal 28-E ayat (2) dan ayat (3) (amandemen) UUD 1945 yang menyatakan bahwa "Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai hati nuraninya" dan "Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat".

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Entri Populer